Demikianlah yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Abbas c dan selain beliau dari as-Salaf (pendahulu umat ini) yang mulia.[2] Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Haa Miim. Demi kitab (al-Qur’an) yang menerangkan. Sesungguhnya Kami menjadikan al-Qur’an dalam bahasa arab supaya kalian memahami(nya). Dan sesungguhnya al-Qur’an itu dalam induk al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah.” (az-Zukhruf: 1—4)
“Bahkan, yang didustakan mereka itu ialah al-Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.” (al-Buruj: 21—22)
“Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan, diturunkan dari Rabbil ‘alamin.” (al-Waqi’ah: 77—80)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Al-Qur’an telah ditulis oleh Allah ‘azza wa jalla dalam Lauh Mahfuzh sebelum penciptaan langit dan bumi.” (Syifa’ul ‘Alil, hlm. 41)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menegaskan bahwa ini adalah perkataan as-Salaf dan Ahlus Sunnah tentang al-Qur’an. (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hlm. 225 dan Syarh al-Aqidah as-Safariniyah 1/215, catatan kaki no. 1)
Kemudian Allah ‘azza wa jalla menurunkannya ke Baitul ‘Izzah di langit dunia secara sekaligus pada malam Lailatul Qadar yang penuh berkah di Bulan Suci Ramadhan. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam Lailatul Qadr.” (al-Qadr: 1)
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (ad-Dukhan: 3)
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasanpenjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil).” (al-Baqarah: 185)
Kemudian Allah ‘azza wa jalla menurunkannya ke dunia kepada Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui Malaikat Jibril ‘alaihissallam selama 23 tahun secara berangsur-angsur. Dengan sebuah hikmah, agar lebih mudah dalam proses penyampaian dan pengajarannya kepada umat, dan lebih mengokohkan jiwa beliau dalam menghadapi berbagai ujian dan tantangan yang ada. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Rabb semesta alam. Dia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan.” (asy-Syu’ara’: 192—194)
“Dan al-Qur’an itu telah Kami turunkan secara berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (al-Isra’: 106)
“Berkatalah orang-orang yang kafir, ‘Mengapa al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya secara sekaligus saja?’; demikianlah supaya Kami mengokohkan jiwamu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).” (al-Furqan: 32)
Abdullah bin Abbas c berkata, “Allah ‘azza wa jalla menurunkan al-Qur’an secara sekaligus dari Lauh Mahfuzh ke Baitul Izzah di langit dunia, kemudian menurunkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara terperinci selama 23 tahun, sesuai dengan kasus dan peristiwa yang ada.” (Tafsir Ibnu Katsir 8/441)
Dalam kurun waktu 23 tahun itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat-ayat al-Qur’an kepada para sahabatnya,mengajarkan tafsir (rincian makna)-nya, dan mencontohkan berbagai bentuk pengamalannya dalam kehidupan sebagai pembelajaran dan keteladanan terbaik untuk mereka. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Sungguh Allah telah memberi anugerah kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah, dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Ali Imran: 164)
Asy-Syaikh Shalih Alusy Syaikh menjelaskan bahwa al-Qur’an mempunyai dua keadaan; tertulis (maktub) dan didengar (masmu’). Adapun yang tertulis (maktub) maka ada pada tiga hal:
1) Lauh Mahfuzh, ditulis padanya al-Qur’an secara sempurna dari awal hingga akhir.
2) Baitul Izzah di langit dunia. Allah ‘azza wa jalla menurunkan al-Qur’an (dari Lauh Mahfuzh) secara sekaligus dalam bentuk tulisan dan menempatkannya di Baitul Izzah.
3) Mushaf al-Qur’an yang ada di tangan kaum muslimin.
Dalam tiga hal ini, tidak ada peran dari Malaikat Jibril sama sekali. Berikutnya, al-Qur’an yang tertulis di Lauh Mahfuzh, Baitul Izzah, dan Mushaf al-Qur’an semuanya adalah kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla) bukan makhluk. Adapun yang didengar (masmu’) maka terjadi saat al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ‘azza wa jalla menyampaikannya kepada Malaikat Jibril ‘alaihissallam dengan huruf (lafadz) dan maknanya yang didengar, kemudian Malaikat Jibril ‘alaihissallam menyampaikannya secara langsung apa yang didengarnya dari Allah ‘azza wa jalla tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan dengan cara seperti itu. (Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah hlm. 382 dan Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah 1/363)
Kedudukan Al-Qur’an dalam Kehidupan Umat Manusia
Al-Qur’an merupakan pedoman dan lentera kehidupan bagi umat manusia. Kedudukannya sangat tinggi dan hikmah yang dikandungnya pun sangat berharga. Di dalamnya terdapat lautan ilmu, petunjuk kepada jalan yang lurus, cahaya kebenaran, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri kepada-Nya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Nahl: 89)
“Hai Ahli Kitab, telah datang kepada kalian Rasul kami, menjelaskan kepada kalian banyak dari al-Kitab yang kalian sembunyikan dan banyak pula yang dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan (al-Qur’an). Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya kepada jalan keselamatan. Dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (al-Maidah: 15—16)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kitabullah (al-Qur’an) adalah yang paling berhak untuk dicurahkan kepadanya perhatian dan kesungguhan, yang paling agung untuk dikerahkan kepadanya pemikiran dan ditorehkan dengannya pena, karena ia sumber segala ilmu dan hikmah, tempat semua petunjuk dan rahmat. Al-Qur’an merupakan bekal termulia bagi ahli ibadah dan pegangan terkuat bagi orang-orang yang berpegang teguh (istiqamah). Barang siapa berpegang teguh dengannya maka sungguh telah berpegang dengan tali yang kuat. Barang siapa yang berjalan di atasnya maka sungguh telah berjalan di atas jalan yang lurus dan terbimbing menuju ash-shirathal mustaqim.” (Al-Fawaid al-Musyawwiq ila Ulumil Qur’an wa Ilmil Bayan, hlm. 6—7)
Tak heran, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghasung umatnya supaya mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya. Dengannya, predikat terbaik akan diraih dan dengannya pula berbagai kebaikan akan selalu mengiringi perjalanan hidup mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” ( HR. al-Bukhari no. 5027, dari sahabat Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu)
Al-Qur’an, Kitab Suci yang Sangat Terpelihara
Al-Qur’an kitab suci yang sangat terpelihara. Tidak akan datang kepadanya kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya. Karena yang menurunkannya ialah Allah ‘azza wa jalla Dzat yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji. Dia ‘azza wa jalla telah berjanji memeliharanya untuk selama-lamanya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji.” (Fushshilat: 42)
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (al-Hijr: 9)
Lebih dari itu, al-Qur’an berkedudukan sebagai tolok ukur kebenaran terhadap kandungan kitab-kitab sebelumnya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan Kami telah menurunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan tolok ukur kebenaran terhadap kitab-kitab yang lain itu.” (al-Maidah: 48)
Demikian agung dan terpeliharanya Kitab Suci al-Qur’an. Namun, di mata kaum Syi’ah yang sesat ternyata tidak demikian adanya. Al-Qur’an yang merupakan kitab suci umat Islam tak lagi dianggap suci oleh mereka, bahkan tidak sah dan kurang dari yang aslinya.
Disebutkan dalam kitab al-Kafi (yang kedudukannya di sisi mereka seperti Shahih al-Bukhari di sisi kaum muslimin) karya Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini 2/634 dari Abu Abdillah (Ja’far ash-Shadiq), dia berkata, “Sesungguhnya al-Qur’an yang dibawa Jibril kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu (ada) 17.000 ayat.”
Pada 1/239—240 disebutkan dari Abu Abdillah, dia berkata, “Sesungguhnya di sisi kami ada Mushaf Fatimah ‘alaihas salam, mereka tidak tahu apa Mushaf Fatimah itu. Abu Bashir berkata, ‘Apa mushaf Fatimah itu?’ Dia (Abu Abdillah) berkata, ‘Mushaf yang isinya 3 kali lipat dari yang ada di mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari al-Qur’an kalian’.” (Dinukil dari kitab asy-Syi’ah wal Qur’an karya Dr. Ihsan Ilahi Zhahir, hlm. 31—32)
“Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (al-Kahfi: 5)
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain’.” (al-Isra’: 88)
Al-Qur’an Kalamullah, Bukan Makhluk
Di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah yang paling mendasar adalah keyakinan bahwa al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla), bukan makhluk. Allah ‘azza wa jalla berfirman dengannya secara hakiki, dengan huruf (lafadz) dan maknanya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Termasuk dari keimanan kepada Allah ‘azza wa jalla dan kitab-kitab-Nya adalah beriman bahwa al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla) yang diturunkan dari Allah ‘azza wa jalla, bukan makhluk. Dari Allah ‘azza wa jalla al-Qur’an itu berasal dan kepada-Nya pula ia akan kembali. Allah ‘azza wa jalla berfirman (berkata) dengannya secara hakiki. Al-Qur’an yang Allah ‘azza wa jalla turunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla) secara hakiki, bukan perkataan selain-Nya. Tidak boleh menyatakan bahwa al-Qur’an hikayat tentang kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla) atau ungkapan tentang kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla). Bahkan, jika al-Qur’an itu dibaca oleh manusia atau ditulis dalam mushaf-mushaf, tidaklah mengeluarkan dia dari kedudukannya sebagai kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla) yang sebenarnya. Sebab, sebuah perkataan disandarkan hanya kepada yang pertama kali mengatakannya, tidak kepada pihak (kedua, -pen.) yang berstatus sebagai penyampainya. Al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla), huruf (lafadz) dan maknanya. Kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla) itu bukanlah huruf (lafadz) semata tanpa makna, dan bukan pula makna semata tanpa huruf (lafadz).” (al-Aqidah al-Wasithiyah)
Prinsip Ahlus Sunnah tersebut sungguh berbeda dengan prinsip kelompok sesat Mu’tazilah[3] dan Jahmiyah[4] yang menyatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Berawal dari niatan ingin menyucikan Allah ‘azza wa jalla dari sifat-sifat makhluk-Nya—dengan mengandalkan akal tanpa bimbingan ilmu—akhirnya terjatuh dalam sikap yang lebih ekstrem, yaitu ta’thil (meniadakan) sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla secara total, termasuk sifat kalam (berbicara) bagi Allah ‘azza wa jalla. Dengan itu, mereka menetapkan bahwa Allah ‘azza wa jalla tidak mempunyai sifat berbicara alias bisu. Mahasuci Allah ‘azza wa jalla dari pernyataan keji mereka itu. Karenanya, para ulama Ahlus Sunnah menyatakan, “Barang siapa mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk maka dia kafir.”Al-Qur’an adalah wahyu ilahi, bukan produk budaya.[1] Keberadaannya sebagai kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla) memosisikannya sebagai kitab suci yang mulia. Ia bukan makhluk, bukan perkataan Malaikat Jibril ‘alaihissallam, bukan perkataan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan pula perkataan makhluk manapun. Allah ‘azza wa jalla telah menulisnya secara sempurna dalam Lauh Mahfuzh sejak langit dan bumi belum tercipta.
Demikianlah yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Abbas c dan selain beliau dari as-Salaf (pendahulu umat ini) yang mulia.[2] Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Haa Miim. Demi kitab (al-Qur’an) yang menerangkan. Sesungguhnya Kami menjadikan al-Qur’an dalam bahasa arab supaya kalian memahami(nya). Dan sesungguhnya al-Qur’an itu dalam induk al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah.” (az-Zukhruf: 1—4)
“Bahkan, yang didustakan mereka itu ialah al-Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.” (al-Buruj: 21—22)
“Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan, diturunkan dari Rabbil ‘alamin.” (al-Waqi’ah: 77—80)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Al-Qur’an telah ditulis oleh Allah ‘azza wa jalla dalam Lauh Mahfuzh sebelum penciptaan langit dan bumi.” (Syifa’ul ‘Alil, hlm. 41)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menegaskan bahwa ini adalah perkataan as-Salaf dan Ahlus Sunnah tentang al-Qur’an. (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hlm. 225 dan Syarh al-Aqidah as-Safariniyah 1/215, catatan kaki no. 1)
Kemudian Allah ‘azza wa jalla menurunkannya ke Baitul ‘Izzah di langit dunia secara sekaligus pada malam Lailatul Qadar yang penuh berkah di Bulan Suci Ramadhan. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam Lailatul Qadr.” (al-Qadr: 1)
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (ad-Dukhan: 3)
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasanpenjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil).” (al-Baqarah: 185)
Kemudian Allah ‘azza wa jalla menurunkannya ke dunia kepada Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui Malaikat Jibril ‘alaihissallam selama 23 tahun secara berangsur-angsur. Dengan sebuah hikmah, agar lebih mudah dalam proses penyampaian dan pengajarannya kepada umat, dan lebih mengokohkan jiwa beliau dalam menghadapi berbagai ujian dan tantangan yang ada. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Rabb semesta alam. Dia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan.” (asy-Syu’ara’: 192—194)
“Dan al-Qur’an itu telah Kami turunkan secara berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (al-Isra’: 106)
“Berkatalah orang-orang yang kafir, ‘Mengapa al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya secara sekaligus saja?’; demikianlah supaya Kami mengokohkan jiwamu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).” (al-Furqan: 32)
Abdullah bin Abbas c berkata, “Allah ‘azza wa jalla menurunkan al-Qur’an secara sekaligus dari Lauh Mahfuzh ke Baitul Izzah di langit dunia, kemudian menurunkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara terperinci selama 23 tahun, sesuai dengan kasus dan peristiwa yang ada.” (Tafsir Ibnu Katsir 8/441)
Dalam kurun waktu 23 tahun itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat-ayat al-Qur’an kepada para sahabatnya,mengajarkan tafsir (rincian makna)-nya, dan mencontohkan berbagai bentuk pengamalannya dalam kehidupan sebagai pembelajaran dan keteladanan terbaik untuk mereka. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Sungguh Allah telah memberi anugerah kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah, dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Ali Imran: 164)
Asy-Syaikh Shalih Alusy Syaikh menjelaskan bahwa al-Qur’an mempunyai dua keadaan; tertulis (maktub) dan didengar (masmu’). Adapun yang tertulis (maktub) maka ada pada tiga hal:
1) Lauh Mahfuzh, ditulis padanya al-Qur’an secara sempurna dari awal hingga akhir.
2) Baitul Izzah di langit dunia. Allah ‘azza wa jalla menurunkan al-Qur’an (dari Lauh Mahfuzh) secara sekaligus dalam bentuk tulisan dan menempatkannya di Baitul Izzah.
3) Mushaf al-Qur’an yang ada di tangan kaum muslimin.
Dalam tiga hal ini, tidak ada peran dari Malaikat Jibril sama sekali. Berikutnya, al-Qur’an yang tertulis di Lauh Mahfuzh, Baitul Izzah, dan Mushaf al-Qur’an semuanya adalah kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla) bukan makhluk. Adapun yang didengar (masmu’) maka terjadi saat al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ‘azza wa jalla menyampaikannya kepada Malaikat Jibril ‘alaihissallam dengan huruf (lafadz) dan maknanya yang didengar, kemudian Malaikat Jibril ‘alaihissallam menyampaikannya secara langsung apa yang didengarnya dari Allah ‘azza wa jalla tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan dengan cara seperti itu. (Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah hlm. 382 dan Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah 1/363)
Kedudukan Al-Qur’an dalam Kehidupan Umat Manusia
Al-Qur’an merupakan pedoman dan lentera kehidupan bagi umat manusia. Kedudukannya sangat tinggi dan hikmah yang dikandungnya pun sangat berharga. Di dalamnya terdapat lautan ilmu, petunjuk kepada jalan yang lurus, cahaya kebenaran, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri kepada-Nya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Nahl: 89)
“Hai Ahli Kitab, telah datang kepada kalian Rasul kami, menjelaskan kepada kalian banyak dari al-Kitab yang kalian sembunyikan dan banyak pula yang dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan (al-Qur’an). Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya kepada jalan keselamatan. Dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (al-Maidah: 15—16)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kitabullah (al-Qur’an) adalah yang paling berhak untuk dicurahkan kepadanya perhatian dan kesungguhan, yang paling agung untuk dikerahkan kepadanya pemikiran dan ditorehkan dengannya pena, karena ia sumber segala ilmu dan hikmah, tempat semua petunjuk dan rahmat. Al-Qur’an merupakan bekal termulia bagi ahli ibadah dan pegangan terkuat bagi orang-orang yang berpegang teguh (istiqamah). Barang siapa berpegang teguh dengannya maka sungguh telah berpegang dengan tali yang kuat. Barang siapa yang berjalan di atasnya maka sungguh telah berjalan di atas jalan yang lurus dan terbimbing menuju ash-shirathal mustaqim.” (Al-Fawaid al-Musyawwiq ila Ulumil Qur’an wa Ilmil Bayan, hlm. 6—7)
Tak heran, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghasung umatnya supaya mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya. Dengannya, predikat terbaik akan diraih dan dengannya pula berbagai kebaikan akan selalu mengiringi perjalanan hidup mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” ( HR. al-Bukhari no. 5027, dari sahabat Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu)
Al-Qur’an, Kitab Suci yang Sangat Terpelihara
Al-Qur’an kitab suci yang sangat terpelihara. Tidak akan datang kepadanya kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya. Karena yang menurunkannya ialah Allah ‘azza wa jalla Dzat yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji. Dia ‘azza wa jalla telah berjanji memeliharanya untuk selama-lamanya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji.” (Fushshilat: 42)
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (al-Hijr: 9)
Lebih dari itu, al-Qur’an berkedudukan sebagai tolok ukur kebenaran terhadap kandungan kitab-kitab sebelumnya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan Kami telah menurunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan tolok ukur kebenaran terhadap kitab-kitab yang lain itu.” (al-Maidah: 48)
Demikian agung dan terpeliharanya Kitab Suci al-Qur’an. Namun, di mata kaum Syi’ah yang sesat ternyata tidak demikian adanya. Al-Qur’an yang merupakan kitab suci umat Islam tak lagi dianggap suci oleh mereka, bahkan tidak sah dan kurang dari yang aslinya.
Disebutkan dalam kitab al-Kafi (yang kedudukannya di sisi mereka seperti Shahih al-Bukhari di sisi kaum muslimin) karya Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini 2/634 dari Abu Abdillah (Ja’far ash-Shadiq), dia berkata, “Sesungguhnya al-Qur’an yang dibawa Jibril kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu (ada) 17.000 ayat.”
Pada 1/239—240 disebutkan dari Abu Abdillah, dia berkata, “Sesungguhnya di sisi kami ada Mushaf Fatimah ‘alaihas salam, mereka tidak tahu apa Mushaf Fatimah itu. Abu Bashir berkata, ‘Apa mushaf Fatimah itu?’ Dia (Abu Abdillah) berkata, ‘Mushaf yang isinya 3 kali lipat dari yang ada di mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari al-Qur’an kalian’.” (Dinukil dari kitab asy-Syi’ah wal Qur’an karya Dr. Ihsan Ilahi Zhahir, hlm. 31—32)
“Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (al-Kahfi: 5)
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain’.” (al-Isra’: 88)
Al-Qur’an Kalamullah, Bukan Makhluk
Di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah yang paling mendasar adalah keyakinan bahwa al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla), bukan makhluk. Allah ‘azza wa jalla berfirman dengannya secara hakiki, dengan huruf (lafadz) dan maknanya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Termasuk dari keimanan kepada Allah ‘azza wa jalla dan kitab-kitab-Nya adalah beriman bahwa al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla) yang diturunkan dari Allah ‘azza wa jalla, bukan makhluk. Dari Allah ‘azza wa jalla al-Qur’an itu berasal dan kepada-Nya pula ia akan kembali. Allah ‘azza wa jalla berfirman (berkata) dengannya secara hakiki. Al-Qur’an yang Allah ‘azza wa jalla turunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla) secara hakiki, bukan perkataan selain-Nya. Tidak boleh menyatakan bahwa al-Qur’an hikayat tentang kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla) atau ungkapan tentang kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla). Bahkan, jika al-Qur’an itu dibaca oleh manusia atau ditulis dalam mushaf-mushaf, tidaklah mengeluarkan dia dari kedudukannya sebagai kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla) yang sebenarnya. Sebab, sebuah perkataan disandarkan hanya kepada yang pertama kali mengatakannya, tidak kepada pihak (kedua, -pen.) yang berstatus sebagai penyampainya. Al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla), huruf (lafadz) dan maknanya. Kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla) itu bukanlah huruf (lafadz) semata tanpa makna, dan bukan pula makna semata tanpa huruf (lafadz).” (al-Aqidah al-Wasithiyah)
Prinsip Ahlus Sunnah tersebut sungguh berbeda dengan prinsip kelompok sesat Mu’tazilah[3] dan Jahmiyah[4] yang menyatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Berawal dari niatan ingin menyucikan Allah ‘azza wa jalla dari sifat-sifat makhluk-Nya—dengan mengandalkan akal tanpa bimbingan ilmu—akhirnya terjatuh dalam sikap yang lebih ekstrem, yaitu ta’thil (meniadakan) sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla secara total, termasuk sifat kalam (berbicara) bagi Allah ‘azza wa jalla. Dengan itu, mereka menetapkan bahwa Allah ‘azza wa jalla tidak mempunyai sifat berbicara alias bisu. Mahasuci Allah ‘azza wa jalla dari pernyataan keji mereka itu. Karenanya, para ulama Ahlus Sunnah menyatakan, “Barang siapa mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk maka dia kafir.”
